7 May 2019

KARAPAN SAPI; IDENTITAS MASYARAKAT MADURA

Berbicara tentang Madura, tentunya nggak bisa dilepaskan dari etnografi sosial mereka yang ekspresivitas, spontanitas, dan terbuka. Bahkan ada beberapa buku yang secara khusus membahas mengenai humor suku Madura. Terlepas dari itu, berbicara tentang Madura tentunya tidak bisa dilepaskan dari festival budaya mereka yang telah dikenal luas hingga mancanegara. Traditional Bull racing atau lebih kita kenal sebagai Karapan Sapi.


Karapan Sapi Madura telah menjadi sebuah budaya bagi masyarakat Madura. Kebiasaan memacu binatang peliharaan di arena memang pacu merupakan kegemaran penduduk Madura yang diwariskan secara turun temurun. Di Madura, tidak hanya hewan ternak sapi yang dijadikan ajang lomba pacu, akan tetapi juga kerbau, seperti yang terdapat di Pulau Kangean. Sapi atau kerbau yang dipergunakan sebagai adu cepat tersebut dikendarai oleh seorang joki yang disebut tukang tongko. Tukang tongko akan berdiri di atas kaleles yang ditarik oleh sapi atau kerbau pacuan. Meskipun demikian, pengertian kata kerapan adalah pacu sapi menggunakan kaleles. Perkaitan kerapan diartikan sebagai adu/pacuan sapi karena pacuan binatang lain seperti kerbau tidak disebut kerapan, tetapi mamajir. Oleh sebab itu tidak pernah dikenal istilah kerapan kerbau.




Karapan sapi bagi masyarakat Madura adalah sebuah kebanggaan yang mampu mengangkat martabat dan popularitas seseorang. Tidak terdapat sebuah prasasti yang merujuk tentang sejarah asal muasal kerapan sapi di Madura, hanya sebuah kisah dari mulut ke mulut dengan berbagai versi saja.



Berdasarkan salah satu sumber lisan, Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13. Keberhasilan sang pangeran dalam memaksimalkan tenaga sapi untuk membajak lahan lahan pertanian yang tandus menjadi subur merupakan sebuah prestasi yang kemudian menjadi panutan bagi rakyat Madura. Tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang berubah menjadi sawah sawah yang  subur dan dapat ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah, dan Sapudi pun menjelma sebagai daerah yang makmur.

Sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah ruah, Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang telah dipanen dimanfaatkan sebagai arena balapan sapi. Tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur ini kemudian menjadi sebuah festival turun temurun bagi masyarakat Madura.

Seiring berkembangnya zaman, kerapan sapi ini banyak terjadi perubahan. Kerapan sapi tidak hanya sebagai lomba adu cepat hewan ternak saja, melainkan menjadi sebuah pesta rakyat karena memiliki peran di berbagai bidang, misalnya di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang)

No comments:

Post a Comment